Pengusaha Warung Makan Korban Tagihan Bengkak PAM di Kota Pekalongan Cari Bantuan Hukum

Pengusaha Warung Makan Korban Tagihan Bengkak PAM di Kota Pekalongan Cari Bantuan Hukum
Ruang Pelayanan Kantor Perusda Tirtayasa Kota Pekalongan

Pantura24.com, Kota Pekalongan – Hendro Figola (35) pelanggan Perusahaan Air Minum (PAM) di Kota Pekalongan yang terjerat tagihan tidak wajar akhirnya memilih menyerahkan kasus tersebut ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Pasalnya selain tidak ada solusi juga terancam dipolisikan.

“Oleh pemilik kontrakan yang lama saya diancam akan dilaporkan ke polisi lantaran belum menyelesaikan tagihan air ledeng, padahal upaya saya di kantor PDAM buntu,” ungkap Hendro di warungnya, Rabu (2/8/2023).

Ia mengeluh dalam keadaan serba salah, ingin meyelesaikan kewajiban tunggakan air minum dengan cara dicicil ditolak oleh petugasnya karena diharuskan lunas saat itu juga, mau mengumpulkan uang tapi butuh waktu cukup lama lantaran usaha warung makan di tempat yang baru sedang mengalami penurunan omset.

Kemudian bila tak kunjung dilunasi tagihan airnya, maka pemilik kontrakan warung makan yang lama akan melaporkan ke polisi dengan tuduhan tidak membayar tagihan air sehingga yang bersangkutan mengalami kerugian, apalagi kontrakan tersebut akan disewakan lagi.

“Saya betul-betul pusing mas harus bagaimana, akhirnya saya ngadu ke LBH minta tolong agar bisa dibantu,” ujarmya.

Hendro pun menjelaskan tagihan air minum sebelumnya masih normal dan kalaupun naik juga masih wajar, yang awalnya di bawah Rp 100 ribu terus bertahap naik menjadi sekitar Rp 200 ribuan sesuai kubikasi.

Namun mendadak tagihan melonjak menjadi Rp 900 ribuan dan sudah dua kali pula dicek petugasnya tidak ada kebocoran air bahkan tagihan juga sempat kembali normal.

“Bulan – bulan berikutnya tagihan kembali bengkak dan berakibat kerap terlambat bayar sehingga menumpuk. Sekarang kalau mau melunasi harus bayar Rp 9 juta lebih,” jelas Hendro.

Sementara itu Ketua LBH Adhyaksa Didik Pramono yang menjadi kuasa dari korban membenarkan telah menerima aduan dari korban atas nama Hendro Figola pengusaha warung makan.

“Saudara Hendro ini mengadu dan meminta tolong agar kasusnya bisa diselesaikan. Kami bersama tim sedang mempelajari untuk mengambil langkah termasuk mengumpulkan bukti atau korban lain,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya seorang pelanggan Perusahaan Air Minum (PAM) di Kota Pekalongan bernama Hendro Figola (35) dibuat pusing dan tidak berdaya dengan tagihan air minum yang bengkak di luar batas kewajaran. Warga Kelurahan Bendan Kergon tersebut terpaksa putar badan lantaran aduan yang disampaikan ke Kantor Perumda Tirtayasa tidak mendapatkan solusi.

“Kedatangan saya untuk mengklarifikasi tagihan PAM yang bengkak hingga Rp 9 juta lebih tapi tak diberikan solusi,” ungkap Indro di luar Kantor Perumda Tirtayasa, Senin (30/7/2023).

Ia mengaku bermaksud untuk memohon keringanan tagihan dengan membayar dua atau tiga bulan dulu namun pihak Perumda Tirtayasa menolak dan tetap diminta bayar sesuai nominal di tagihan.

Hendro pun menceritakan kronologi dirinya sampai terjerat tagihan mencekik dari perusahaan air minum milik pemerintah daerah tersebut.

“Awalnya saya mengontrak tempat untuk usaha warung makan namun karena kondisi waktu itu masih dalam masa pemulihan Pandemi Covid-19 jadi usaha belum normal sehingga kerap terlambat bayar air,” ujarnya.

Mendadak setelah mengalami keterlambatan bayar menyebabkan tagihan air di bulan berikutnya langsung melonjak berkali lipat dan hal tersebut berlangsung selama 12 bulan. Karena biaya operasional ikut membengkak akhirnya dua dari tiga karyawan terpaksa diberhentikan.

“Saya pindah lokasi usaha namun pihak pemilik tempat sebelumnya menuntut tagihan air dilunasi. Tentunya saya merasa keberatan karena harus bayar Rp 9 juta lebih, saya belum ada uang sebesar itu,” ucapnya.

Dirinya hanya ingin diberikan keringanan tagihan namun tetap melunasi kewajiban. Sebenarnya pihak Perumda Tirtayasa sempat menawarkan solusi pembayaran namun masih terasa berat sekali.

“Saya diminta membayar langsung tujuh bulan sebesar Rp 6,3 juta. Tapi kan tetap saja terasa berat, karena tidak ada solusi lain akhirnya saya memilih pulang. Ndak tahu nanti apa yang terjadi,” katanya lemas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *