Perjuangan Abraham Radith Warga Pekalongan Melawan Kanker Darah Sejak Usia 5 Tahun

Perjuangan Abraham Radith Warga Pekalongan Melawan Kanker Darah Sejak Usia 5 Tahun
Pelda Riyadi bersama istri ,Minggu ( 15 /06/25 ).

PANTURA24.COM,KOTA PEKALONGAN – Peristiwa tragis menimpa Pelda Riyadi dan Ny. Cicilia Riyadi ketika anaknya Abraham Radith, meninggal dunia pada 9 Mei 2025 pukul 20.30 WIB di sebuah rumah sakit negeri Kota Semarang.

Abraham berjuang lima tahun  lebih melawan kanker darah yang menggerogoti tubuh mungilnya.

Bacaan Lainnya

Ironisnya, bukan penyakit yang pertama-tama yang membunuh Abraham—melainkan kebijakan misterius pihak rumah sakit yang katanya dibuat BPJS Kesehatan.

Anak Pelda Riyadi berulangkali tidak bisa menjalani kemoterapi karena kebijakan satu pasien satu tindakan.

“Sebelumnya, selama lima tahun, anak saya bisa menjalani pelayanan perbaikan kondisi, lalu dilanjutkan kemoterapi. Tapi ini tidak bisa,” tutur Pelda Riyadi di Kota Pekalongan, Minggu 15 Juni 2025.

Pihaknya pun menanyakan kebijakan yang ternyata dibantah  pihak BPJS Kesehatan.

Bahkan, pihak BPJS Kesehatan berani membuat surat pernyataan tidak pernah mengeluarkan kebijakan satu pasien satu tindakan untuk layanan kemoterapi.

“Kami sebagai orangtua benar-benar kehilangan karena kebijakan itu. Tapi siapa yang membuat kebijakan satu pasien satu tindakan? BPJS bilang tidak. RS juga bilang tidak. Lalu siapa?” ujarnya.

Kronologi peristiwa itu bermula saat Abraham seharusnya menjalani kemoterapi pada 27 Maret 2025.

Namun karena ruang penuh, dia harus menunggu panggilan dari Tempat Penerimaan Pasien Rawat Inap (TPPRI) RS tersebut hingga pada tanggal 4 April 2025 harus masuk IGD.

Saat itu ada keluhan lemas, pucat dan lebam – lebam di tangan, dan pihak keluarga berinisiatif cek laborat sendiri di Clinik pekalongan.

Hasilnya menunjukkan adanya penurunan hasil darahnya yaitu HB (7,1), trombosit (4.000) dan lekosit mengalami peningkatan (34.000).

Kemudian Abraham masuk IGD rumah sakit terbesar di Kota Semarang itu karena harus perbaikan kondisi dan dirawat inap di lantai dasar ruang anak.

Saat itu dinyatakan perbaikan kondisi sudah dilakukan yaitu kondisi pasien baik, dari hasil laborat juga sudah membaik (Hb:10,1 /trombosit: 36.000 / lekosit: 45,100).

Perintah dari dokter adalah pasien pulang dan tidak bisa langsung dilakukan tindakan kemoterali seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Alasannya karena ada kebijakan baru dr BPJS  yaitu satu pasien satu tindakan, Sehingga kami harus pulang dan harus mendaftar kembali di poli onkologi hematologi anak untuk menjadwalkan kemoterapi yang tertunda,” jelasnya.

Pada 9 April 2025 Abraham kembali ke rumah sakit itu untuk kontrol dan memastikan jadwal kemoterapi.

Pihak keluarga ternyata tetap harus menunggu panggilan TPPRI untuk kemoterapi

Tapi, sebelum ada panggilan dari TPPRI, pada hari kamis tgl 10 April 2025 Abraham mengalami perdarahan lewat hidung dan batuk darah.

“Kami langsung melarikan Abraham ke RS  itu lewat IGD,” jelasnya.

Abraham kembali menjalani perbaikan kondisi hingga tidak ada lagi perdarahan serta hasil laborat bagus.

Lagi-lagi saat hasil laboratnya bagus, Abraham diperintahkan pulang pada 16 April 2025.

Abraham tidak diizinkan menjalani kemoterapi karena kebijakan satu pasien satu tindakan itu.

“Dokter bilang, kalau sudah dilakukan perbaikan kondisi, tidak bisa langsung kemo. Harus pulang, daftar lagi. Ini kebijakan BPJS, katanya.” tambah Riyadi yang merupakan Intel Korem 071/Wijayakusuma Banyumas itu.

Kemudian Abraham kembali ke rumah sakit pada 17 April 2025 untuk menentukan jadwal kemoterapi yang sudah tertunda.

Pada 18 April 2025 pukul 19.00 Wib Abraham kencing darah dan langsung dibawa lewat IGD.

“Keluarga tahu  pasti akan ada perbaikan. Kami dengan berat hati langsung berdoa dengan penuh harapan sama Tuhan supaya besok ada panggilan dari TPPRI untuk Kemoterapi,” ucapnya.

Esoknya, pada  19 april 2025 istri Riyadi menelpon TPPRI  rumah sakit.

Ia meminta tolong agar anaknya masuk rawat Inap karena sudah terlambat kemoterapi.

“Setelah telepon, anak saya dapat kamar dan langsung di bawa ke RS, untuk di lakukan perbaikan kondisi agar segera tindakan kemoterapi ,”tuturnya.

Hingga akhirnya pada 3 Mei 2025, Abraham baru mendapat kesempatan kemoterapi—yang terlambat.

“Yaitu kemo minggu ke 34 itu, kondisi Abraham justru memburuk drastis,” kenangnya.

Pada 9 Mei, Abraham kehilangan kesadaran dan akhirnya menghembuskan napas terakhir di ruang isolasi lantai dasar nomor 5.

Menggandeng kuasa hukum, pihak keluarga meminta penjelasan dengan pihak rumah sakit dan BPJS Kesehatan pada 27 Mei 2025.Terutama terkait kebijakan satu pasien satu tindakan untuk kemoterapi.

“Saat klarifikasi, Pihak BPJS tidak pernah membuat kebijakan seperti itu,”ceritanya.

Keluarga korban kemudian mendesak surat pernyataan resmi dari BPJS, dan mereka memberikannya.

Isinya tegas: BPJS tidak pernah membuat kebijakan ‘satu pasien satu tindakan’ khusus untuk kemoterapi.

Sayangnya, ketika diminta pernyataan serupa, pihak rumah sakit justru enggan mengeluarkan dokumen resmi.

“Jawaban mereka selalu diplomatis. Mereka bilang tidak pernah membuat kebijakan, tapi juga tidak mau tertulis. Padahal, seluruh dokter dan residen menyebut kebijakan itu dari BPJS, bahkan menganjurkan kami pulang,” ujar Riyadi.

Dokter DPJP (penanggung jawab pasien) pun meminta yang memintanya pulang dulu, karena ada kebijakan itu.

Keluarga mendesak pihak rumah sakit untuk membuat surat pernyataan bahwa mereka tidak pernah membuat kebijakan tersebut.

Hingga berita ini diturunkan, pihak RS sudah mengirimkan dokumen ke Pelda Riyadi.

Tetapi, isinya tidak menyatakan secara tersurat kalau RS tidak pernah membuat kebijakan satu pasien satu tindakan yang sudah pernah dibicarakan dalam Family Confrence pada  tgl 27 Mei 2025.

Pihak rumah sakit hanya menyatakan tidak ada perubahan kebijakan dan dalam tindakan BMP dilakukan sesuai kebutuhan pasien.

“Kami hanya ingin kejelasan. Siapa yang membuat kebijakan ini? Karena anak saya mati akibat Kebijakan tersebut. Jangan sampai ada korban berikutnya hanya karena sistem yang tidak jelas dan petugas saling lempar tanggung jawab,” tegas Riyadi.

Pihaknya meminta Surat pernyataan resmi dari Rumah sakit tersebut bahwa mereka tidak pernah menerapkan kebijakan satu pasien satu tindakan untuk pasien kanker darah (leukemia).

“Lalu Investigasi internal untuk mengungkap siapa sebenarnya yang menyebarkan kebijakan itu di kalangan tenaga medis lantai dasar dan lantai 1 RS . Jaminan agar pasien lain tidak mengalami hal serupa di masa depan,”tuturnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *