Mangkal di Jalan Salak, Leker Pak Jafar Jadi Cemilan Legendaris Pelepas Rindu Masa Kecil di Kota Pekalongan

Mangkal di Jalan Salak, Leker Pak Jafar Jadi Cemilan Legendaris Pelepas Rindu Masa Kecil di Kota Pekalongan
Pak Jafar sedang melayani pembeli leker dari Jakarta yang kebetulan mampir ke Kota Pekalongan, Senin (28/4).

PANTURA24.COM, KOTA PEKALONGAN – Kue leker atau lekker dalam bahasa Belanda berarti enak. Meski bukan cemilan asli Kota Pekalongan, namun ada salah satu penjual jajanan jadul ini yang sudah legendaris dan eksis sejak 1985 hingga sekarang.

“Saya menggantikan bapak mertua saya asal Desa Jetak Kidul, Karanganyar berjualan leker pada 1985. Mertua sendiri berjualan leker sejak 1950-an,” ungkap Jafar Said (68) saat ditemui di Jalan Salak, Senin 28 April 2025.

Ia menyebut awalnya membantu mertua berjualan leker saat masih berusia 28 tahun hingga saat ini sudah memiliki 10 anak dan tiga cucu. Saat itu berjualan leker masih berkeliling karena belum memiliki tempat mangkal.

Jafar bercerita saat awal berjualan leker masih seharga Rp 50 dan terus merangkak naik harganya seiring waktu dan bertambahnya tahun hingga saat ini dijual per satu porsi Rp 2.500.

“Saya lupa persisnya tapi yang teringat pada awal jualan harganya masih Rp 50. Setelah beberapa waktu jualan keliling, akhirnya saya mangkal di sekitaran Jalan Salak,” ujarnya.

Jafar mengatakan di Kota Pekalongan tidak bayak penjual leker yang masih mempertahankan ciri khas tradisional seperti penggunaan arang atau bara api dan cetakan leker yang terbuat dari tanah liat.

Adapun bahan dasar cemilan leker berasal dari tepung terigu, gula dan santan serta diberikan irisan pisang matang. Adonan tersebut ketika diolah bisa mencetak sekitar 200 leker per 1,5 kilo bahan baku yang telah dicampur.

“Jadi yang membedakan leker yang saya buat dengan leker lain hanya pada penggunaan pisang. Saya pakai pisang raja yang telah masak karena harumnya akan sangat terasa saat leker dipanggang menggunakan bara api,” katanya

Jafar mengaku tidak menggunakan kompor gas meski terlihat lebih praktis dan bersih. Ia lebih memilih memakai bara api yang bisa diatur tingkat panasnya dengan kipas manual, sehingga diyakini rasanya pun akan berbeda.

“Pakai bara api rasanya lebih legit dan enak. Aroma adonan dan pisang raja yang sudah masak akan jauh lebih terasa dibanding dengan kompor gas,” jelasnya.

Dalam satu hari berjualan yang dimulai pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang, ia bisa menjual lebih dari 200 porsi leker dengan omset antara Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu.

“Meski berjualan leker menguntungkan tidak anak saya yang tertarik ikut berjualan leker atau meneruskan usaha saya,” tutupnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *